Sabtu, 07 Juni 2008

Ichigo Gari


Setelah latihan angklung, tanggal 11 Mei 2008 sekitar jam 1an, kita pergi ke daerah hampir ke Saga gitu untuk Ichigo Gari. jadi, di daerah itu banyak kebun-kebun strawbery yanga kebetulan lagi musim panen. Jadi kita bisa bayar dan masuk untuk ambil  buah sebanyak apapun boleh, tapi harus dimakan disitu dan g boleh dibawa pulang. Kalau bawa pulang harus bayar lagi. Masuknya bayar 600 yen. Mobil yang Rosma tumpangin sempat nyasar berkali-kali, jadi kita agak tertinggal. Tapi, tetap semangat.....yeah!!!! Setelah puas makan strowbery kita ke air terjun yang g jauh dari situ....wah, kayak di kaliurang deh.....tempat ini masih sangat alami, mungkin ini desanya di Jepang kali yah....

Hm...setelah itu juga kita mampir ke toko tahu yang terkenal. Tahu disini diolag jadi berbagai bentuk makanan yang enak banget. Tapi kita agak kesorean datang, mereka udah kelarisan. jadi baru buka jam 2, dan jam 4 udah keabisan...wuiiih...tapi yakin deh tahuya enak banget.....hohohoho, jadinya sampai Ijiri malem banget deh.....hohohoho

Gpp, yang penting senang..... 

Main ke rumah bu Harini

Hm......begini awal mulanya. Tahun lalu Rosma pernah jadi panitia di 2nd Jogja International Physics Conference. Nah, ada beberapa pembicara yang datang dari luar negeri. Termasuk ibu Harini yang notabene seorang researcher di KyuDai. Nah, di acara itu Rosma g sempat bertemu langsung, hanya liat aja dari kejauhan. Karena Rosma ditempatkan di ruang lain...Dan waktu itu, untuk bisa sampai ke Jepang, masih berupa impian dan harapan....hehehehehe
Dan, karena Rosma sekarang juga ada di KyuDai, jadi g ada salahnya Rosma main ke rumah bu Harini kan.....hohohoho
Tidak begitu sulit menemukan apatonya, karena persis di depan halte bus. Dan makanannya enak loh bu....terima kasih, kalau bisa sering-sering yahhh......hihihihii

Hakata Dontaku


Di Fukuoka ini, ada festival yang bisa dibilang sangat besar. Di adakan tiap tahun tanggal 3 dan 4 Mei. Nah, acaranya berupa parade budaya dan ada stand2 makanan gitu. Nah, hampir setiap tahun warga Indonesia turut meramaikan acara ini. Sepertinya Rosma datang ke Fukuoka di saat yang tepat, hehehehe karena lagi banyak festival dan acara lainnya......jadi enak nih.....
Banyak juga orang2 dari negara lain yang ikut, dan masing-masing memakai kostum khas negaranya. Tapi, sejauh pengamatan Rosma, Indonesia termasuk yang paling antusias soalnya kostumnya paling meriah....dan orangnya banyak.....
Jadi, jam 10 rosma dan warga ijiri lain (padahal kita cuma ber-4), berangkat ke hakata, trus beli ichi nichi kippu. Setelah nyampe di jasso kaikan, ternyata yang lain belum pada datang....yahhhh. jam 12 an kita mulai pake kostum masing-masing hehehehe, Rosma dapat kostum Sumatra Barat nih, merah meriah euy... Kabarnya penontonnya lebih dari 100ribu orang....wuiiih
Setelah menunggu beberapa barisan, akhirnya barisan untuk negara2 asing dimulai. Indonesia ada di urutan kedua. Di paling depan ada barisan kuda kepang yang isinya bapak2 hehehe, mereka udah latihan nari juga loh, dan udah bawa tape juga. Yang dapat jatah untuk membuka pawai tahun ini adalah India, jadi seperti biasa mereka menari2 gitu deh sambil jalan dan pake musik yang kenceng....banget. jadi, barisan Indonesia agak tenggelam nih.....karena penonton udah terlanjur fokus ke  India. Tapi, tetep aja seneng....

Rute jalannya dari Hakata ke Tenjin. Lumayan jauh sih, apalagi kita jalan di tengah hari. Tapi melihat ramainya acara, dan begitu banyaknya penonton....jadi g kerasa. Nah, yang kerasa itu waktu kita harus balik lagi ke tempat semula.....jauh juga yah.....
Setelah, ganti kostum kita jalan-jalan dulu ke canal city...wuiiih mall nya besarrrr banget, g ada tuh di Indonsia yang kayak begituan....hohohoho

Jumat, 06 Juni 2008

“Kekerasan” dan KebebasanUntuk Semua

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang layak dikutuk. Tapi pelecehan ajaran agama, fitnah, pengrusakan nilai-nilai agama adalah juga "kekerasan" yang jauh lebih terkutuk
Oleh: Henri Salahuddin *

Ada baiknya kita palingkan pikiran kita sejenak. Di saat semua orang di negeri ini sibuk terperangkap polemik AKKBB dan FPI, seorang pemuda produktif, tergolek sedang mengalami perawatan. Ia, adalah Mohamad Guntur Romli, aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) dan salah satu peserta apel di Monas.

Guntur yang juga Manajer Program Jurnal Perempuan, harus dioperasi atas luka-luka yang dialaminya. Kita berharap, pemuda produktif ini segera lekas sembuh.

Tidak satu pun orang menyanggah bahwa pengrusakan dan kekerasan fisik adalah kriminal yang layak dikutuk. Hanya saja, banyak orang tak bisa membedakan, selain ada kekerasan fisik, juga ada kekerasan intelektual.

Pemukulan dan penyerangan fisik, adalah perbuatan yang layak dikutuk. Tapi pelecehan ajaran agama, fitnah, hasutan provokatif, pengrusakan nilai-nilai agama dan moral bangsa adalah kategori kriminal yang jauh lebih terkutuk.

Dalam Islam, kriminal sering disebut dengan istilah jarimah dan jinayah. Kedua istilah ini selalu mengacu pada tindakan yang melampaui batas (i'tida) dan mengharuskan pelakunya menebusnya dengan hukuman baik berupa harta, nyawa, maupun sanksi dari pemerintah (ta’zir).

Dalam peritiwa Monas, 1 Juni lalu, banyak pihak mengecam tindakan FPI. Beberapa media massa yang dikenal nasional, mengecam dan menjadikan laporan seolah-olah FPI sebagai organisasi paling beringas di dunia. Sebuah media nasional bahkan membenturkannya dengan Pancasila.

“Aksi laskar Front Pembela Islam sungguh ironis. Mereka mengumbar keberingasan pada 1 Juni lalu, persis ketika hari lahir Pancasila sedang diperingati. Adakah kelompok yang mengatasnamakan Islam ini sengaja ingin melecehkan Pancasila?”, demikian penggalan editorial Koran Tempo, (3/6) kemarin.

”Negara Tidak Boleh Kalah”, demikian tulis Harian Kompas, (3/6), seolah-olah menekan pemerintah. Bahkan Koran yang pernah diisukan dimiliki kalangan Nashrani ini menurunkan tiga opini sekaligus, “Pancasila dan Kekerasan Agama”, “Agama yang Tidak Menghakimi”, dan “Kebebasan Anarkis.”

Kekerasan Intelektual

Kekerasan atas nama apapun adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Sayangnya, sering kali masyarakat terkecoh –sebagian pura-pura tidak tahu—dengan bentuk-bentuk “kekerasan atas nama intelektual”.

Guntur , pria berusia 32 tahun ini masih tergolek lemah di RSPAD Gatot Subroto Jakarta ini, misalnyadikenal sebagai penulis cukup produktif dan dikenal sangat berani dalam mengusung isu-isu kebebasan berpendapat, meskipun harus menyinggung akidah dan ajaran yang paling mendasar dalam Islam.

Keberaniannya yang terkesan nekad dapat disimak dalam artikelnya bertema ”Pewahyuan Al-Quran: Antara Budaya dan Sejarah”, yang dimuat Koran Tempo pada 4 Mei 2007. Di situ dia menyatakan bahwa Al-Quran adalah produk sejarah dan menguatkan pendapat Nasr Hamid Abu Zayd, seorang liberal cabang Mesir yang kabur ke Belanda setelah diputuskan murtad oleh mahkamah negara asalnya. Di samping itu, dia menyatakan bahwa Al-Quran adalah karya bersama yang merupakan hasil ’gotong royong’ antara Allah, malaikat Jibril dan Nabi Muhammad. Tidak puas sampai di sini, mental keberaniannya –seolah-olah--telah memutuskan syaraf kepekaan sosial keagamaannya jauh sebelum menjadi korban FPI, dengan mengatakan bahwa Al-Quran terpengaruh dengan keyakinan Ebyon, sekte Kristen minoritas yang tidak mengakui Nabi Isa mati disalib. Pendapatnya ini didasarkan –di antaranya- hanya gara-gara Nabi Muhammad merasa berhutang budi pada Waraqah bin Naufal, rahib sekte Ebyon yang telah berjasa mengawinkan beliau dengan Khadijah. Maka sebagai balasannya, Nabi akhirnya memasukkan salah satu unsur keyakinan Ebyon dalam ajaran Islam.

Dalam sebuah tulisan di Kompas, (1/9/2007), dalam tulisan berjudul, ”Muhammad dan Kaum Cerdik Pandai Kristen”, Guntur mengatakan, bahwa Muhammad SAW bisa menjadi Nabi hanya berkat bimbingan tokoh cerdik pandai Kristen.

Memang harus diakui bahwa pria --yang kabarnya-- saat ini dalam kondisi perawatan, adalah pengusung kebebasan berpendapat dan tokoh liberal sejati, meskipun kerap melewatkan bukti dan argumen yang valid ketika berpendapat. Sebab bagi “liberal” sejati tidak perlu terikat dengan sebuah bukti, argumen maupun etika untuk menyatakan idenya. Ketika seorang liberal masih merasa terikat dengan hal-hal yang menghalangi kebebasannya, dia tidak lagi liberal dan tidak layak disebut tokoh pengusung kebebasan berpendapat.

Dalam sebuah jurnal yang mengusung paham feminisme radikal, didapati artikel yang berjudul: ”Lesbian Dalam Seksualitas Islam”. Artikel Mohamad Guntur Romli ini sangat berani bahkan keberanian penulisnya dalam mengutarakan kebebasan berpendapat layak diacungi jempol. Bagaimana tidak! Kesalehan tokoh sekelas Umar bin Khathab RA yang tidak diragukan oleh kaum Muslimin, dikotorinya dengan mengisahkan beliau sebagai pelaku anal sex. Tuduhan negatif terhadap mertua Rasulullah ini dia sandarkan pada tafsir al-Durrul Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur, karya Imam Suyuthi. Namun setelah saya lacak dalam tafsir tersebut, ternyata Imam Suyuthi tidak pernah menulis seperti yang dituduhkan penulis artikel tersebut terhadap Umar RA.

Pada intinya, artikel ini secara terselubung mengkampanyekan halalnya homoseksual dan lesbian dengan cara mengacak-acak kandungan Al-Quran. Dengan mengutip beberapa ayat berkenaan dengan kisah kaum Nabi Luth, dia kemudian mengajukan beberapa pertanyaan yang berdasar atas keraguan akalnya: ”Benarkah azab hanya berkaitan dengan masalah moral dan praktik seksual saja? Dan benarkah kisah itu benar-benar terjadi sebagai fakta sejarah?”.

Dalam menyikapi berbagai kisah yang terdapat dalam Al-Quran dan menganggapnya sebatas metafor, pria ini menulis: Kalau saja Al-Quran berani ”mengarang” laporannya tentang peristiwa yang disaksikan sendiri oleh Muhammad dan pengikutnya, bagaimana dengan kisah-kisah yang tidak pernah disaksikan oleh Muhammad? Ada sebuah persangkaan dan keraguan atas Al-Quran.

Pada akhirnya, artikel ini mengajak pembaca untuk bersikap kritis dan membedakan antara homoseksual saat ini dengan ”homoseksual” (dengan tanda kutip) yang terjadi pada sejarah Islam. Bagi pria yang kini tengah mendapatkan perawatan di RSPAD Gatot Subroto ini, tidak ada bedanya antara homoseksual dan heteroseksual. Bedanya hanya terletak pada kenikmatan seksual seseorang dan bagaimana ia mendapatkannya. (JP 58, hal. 75-93)

Tuduhan, kecaman, terhadap para ulama, melecehkan agama yang diyakini milyaran orang tak lain adalah salah satu bentuk “kekerasan intelektual” di negeri ini.

Yang menyedihkan, “kekerasan intelektual” justru dilakukan oleh kelompok-kelompok yang menjunjung tinggi kebebasan, demokrasi dan kebebasan beragama.

Umumnya, sebagian orang –terutama media massa—menjadikan kasus FPI sebagai bentuk kekerasan paling jahat. Sementara tak menganggap kaum intelektual yang “bermain-main” dengan akal hanya untuk sebuah kebebasan berpendapat bukan sebuah “kekerasan”.

FPI tidak tahu siapa itu Guntur, Syafi’i Anwar dan korban-korban yang terhitung luka parah akibat insiden Monas 1 juni lalu. FPI bukanlah organisasi akademis yang bergelut dengan seminar, diskusi dan tumpukan makalah. Kemauan mereka sangat sederhana, bubarkan Ahmadiyah yang telah melecehkan Islam! Mungkin ceritanya akan lain, jika sebelum terjadinya insiden itu, FPI mengenal Guntur dkk dan mengetahui sepak terjangnya dalam melecehkan Al-Quran dan ajaran Islam. Boleh jadi massa FPI jauh lebih garang dan bisa-bisa, akan berdiri “monumen kebebasan” yang menyedot dana ratusan juta dari berbagai Negara di Monas. Dan Guntur memperoleh “award”.

Radical Liberalism dan Kebebasan Bermartabat

Kebebasan yang bermartabat dalam Islam tidak membenarkan kebebasan berbuat kriminal. Bahkan Islam dengan tegas memaknai kebebasan sebatas pada kebebasan untuk melakukan hal-hal yang baik.

Kebebasan beragama, kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi sering disalahartikan pada sikap arogansi untuk menindas hak kebebasan kelompok beragama dalam menjalankan dan meyakini ajarannya. Bahkan saat ini, para pengusung kebebasan beragama cenderung mengarah pada paham radical liberalism.

Kesimpulan seperti ini juga diperkuat dengan fenomena perhelatan Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII yang dilaksanakan di Pekanbaru, 21-24 Nopember 2007 lalu. Kegiatan intelektual yang bermartabat seperti ACIS, justru digunakan untuk mengembangkan paham radical liberalism yang berwawasan anti-perbedaan. Perhelatan ACIS VII yang dimeriahkan dengan lomba debat antar mahasiswa se-Indonesia yang mengusung tema-tema untuk memojokkan Islam, seperti: Formalization of Syariah as the Real Enemy of Democracy; Ranjau Formalisasi Syariat; Mendamaikan Syariat Islam dengan demokrasi Pancasila; Pancasila dalam kepungan formalisasi Syari'ah Islam; Menolak Poligami: ditinjau dari berbagai pendekatan, Pembaharuan Hukum Islam dalam konteks keindonesiaan merupakan suatu keharusan; Benarkah poligami sebagai sunah nabi? Dan masih banyak tema-tema menyeramkan lainnya.

Tampilnya sejumlah narasumber asing non-Muslim untuk berbicara di depan para akademisi Muslim tentang studi Islam adalah bukti betapa peran agen-agen Barat di lingkungan Departemen Agama RI dalam menentukan arah studi Islam di PTAI tidak bisa dipandang sebelah mata.

Dalam sesi paralel "Islam dan Masalah Hak Asasi Manusia (HAM)" misalnya, pembahasan banyak difokuskan pada usaha mendiskriditkan hukum Islam, ulama fikih yang bermartabat dan memposisikan MUI sebagai pihak terdakwa. Dalam makalah "Mengubah Wajah Fikih Islam" misalnya, mengusulkan munculnya corak fikih baru yang bernuansa pluralis yang menjamin hak kebebasan dalam beragama, termasuk hak untuk menafsirkan agama. Pemakalah juga menuding fatwa MUI yang menyatakan kelompok Ahmadiyah sesat dan menyesatkan telah merampas hak kebebasan ini dengan cara membenturkannya dengan Resolusi Majelis Umum PBB 217A (III) 1948 dan UUD 1945 Pasal 28E dan Pasal 29.

Berkenaan dengan kebebasan beragama, seorang pemakalah tambil membawakan tema: "Menakar Kebebasan Beragama di Indonesia", menegaskan bahwa: Agama dan beragama adalah semata-mata untuk manusia bukan untuk apapun atau siapapun. Oleh karena itu tidak ada hak pada apapun atau siapapun termasuk itu Tuhan untuk memaksakan agama tertentu kepada manusia. Dalam uraiannya, kebebasan beragama secara operasional didefinisikan pemakalah dalam pengertian sebagai berikut: Kebebasan beragama sekaligus bermakna tidak hanya kebebasan untuk beragam atau memilih agama, tidak hanya kebebasan untuk menghayati atau memaknai agamanya sesuai dengan keyakinan teologisnya, tapi lebih jauh kebebasan beragama juga bermakna kebebasan untuk tidak beragama. Tapi saya tidak ingin berbicara tentang kebebasan untuk tidak beragama, karena soal ini sudah dikunci di negeri ini, komunisme sudah dihabisi, jadi segala pikiran-pikiran ateistik sudah dikesampingkan, maka saya akan berbicara kebebasan beragama dalam konteks kebebasan untuk memilih agama, untuk beragama sekaligus memaknai agamanya sesuai dengan keinginannya.

Pemakalah juga menyesalkan pembekuan aliran-aliran yang dianggap sesat seperti Ahmadiyah, al-Qiyadah al-Islamiyyah, dsb. Sehingga dalam menyoroti kedudukan MUI, dia menyatakan: "MUI misalnya, dalam amatan saya itu lebih menampilkan diri sebagai provokator konflik secara tidak langsung atau mungkin secara langsung". Lebih lanjut saat mengomentari sebuah slogan yang disanjung-sanjung oleh kelompok yang Islamisis yang menyakini Islam sebagai al-Din wa l-Daulah (agama dan negara sekaligus), dia mengatakan: "Apapun bentuknya, itu adalah suatu perselingkuhan. Maka apa yang muncul kemudian seperti partai Islam itu adalah anak haram dari perselingkuhan agama dan negara. Satu jalan menurut saya, jalan keluarnya hanya satu agar tampil relasi agama dan negara yang setara (yaitu) hanya satu, melalui jalan sekularisasi".

Beberapa fenomena liberalisasi agama yang muncul di tanah air, menguatkan indikasi merambahnya paham radical liberalism yang tidak lain adalah pembaratan ideologi rakyat Indonesia yang disusupkan melalui LSM-LSM lokal. Prinsip dasar paham ini sebenarnya adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan, ucapan, pers dan politik. Padahal paham liberalisme telah terbukti membawa dampak negatif bagi sistem masyarakat Barat, seperti mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekedar urusan individu; pengabaian total terhadap agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga publik, lembaga legal dan lembaga sosial.

Dalam liberalisme budaya, paham ini menekankan hak-hak pribadi yang berkaitan dengan cara hidup dan perasaan hati. Liberalisme budaya secara umum menentang keras campur tangan pemerintah yang mengatur sastra, seni, akademis, perjudian, seks, pelacuran, aborsi, keluarga berencana, alkohol, ganja, dan barang-barang yang dikontrol lainnya. Belanda, dari segi liberalisme budaya, mungkin negara yang paling liberal di dunia.

Sedangkan liberalisme ekonomi mendukung kepemilikan harta pribadi dan menentang peraturan-peraturan pemerintah yang membatasi hak-hak terhadap harta pribadi. Paham ini bermuara pada kapitalisme melalui pasar bebas. Ujung-ujungnya paham radical liberalism adalah paham kebebasan bersuara dan kebebasan untuk tidak mendengarkan suara pihak lain yang berbeda.

Akhirnya paham ini mengukuhkan paham diktatorisme, di mana kelompok yang paling kuatlah yang akhirnya berkuasa. Dalam konteks bernegara, paham ini diam-diam meneriakkan slogan kebebasan untuk semua, yaitu rakyat bebas berbicara dan pemerintah pun bebas untuk tidak mendengarkan suara rakyat.

Sebagai penutup, konsep kebebasan dalam Islam merujuk pada kata ikhtiyar yang berakar kata khair (baik). Jadi umat Islam tidak dibebaskan untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Sebab hak kebebasan seseorang senantiasa terbatas dengan hak kebebasan yang dimiliki orang lain. Pada intinya, kebebasan yang dilahirkan dari paham radical liberalism adalah kebebasan yang tidak bermartabat. Dan biasanya selalu melahirkan kekerasan intelektual yang lukanya jauh lebih menyakitkan dibanding kekerasan fisik. Lallahu ‘a’lam. [www.hidayatullah.com]

Penulis alumni ISID Gontor & International Islamic University Malaysia (IIUM), Faculty of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences, Department Usul al-Din and Islamic Thought.

Kamis, 05 Juni 2008

"Peristiwa Monas dan Isu Toleransi"

Jika Front Pembela Islam (FPI) didesak bubar, maka adalah sangat adil pula jika seluruh kelompok-kelompok “liberal radikal” dibubarkan!

Oleh: M. Syamsi Ali

Umat Islam Indonesia, sekali lagi, menjadi sorotan mata dunia saat ini setelah beberapa hari lalu perkumpulan sekelompok yang menamai diri Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) diserang oleh anggota Front Pembela Islam (FPI). Secara langsung nampak bahwa kelompok AKKBB dirugikan, tapi sebenarnya memang itulah strategi pemenangan. Mereka ingin mendapatkan simpati seluas-luasnya, termasuk dari berbagai kalangan di luar negeri. Tidak aneh, jika Kedutaan Amerika telah mengeluarkan pernyataan mengutuk kekerasan tersebut.

Apapun cerita di balik dari peristiwa tersebut dan siapapun yang benar atau salah, pelaku atau korbannya, kekerasan adalah kekerasan yang tidak mungkin ditolerir dalam konteks sebuah negara yang berhukum. Ekspresi kebenarana dengan melakukan serangan kekerasan tidak akan mungkin bisa ditolerir selama semua pihak masih mengakui adanya otoritas dan hukum dalam institusi kenegaraan. Hal ini menjadi krusial, sebab jika semua pihak (kelompok-kelompok masyarakat) merasa membela kebenaran dan melakukan hal yang sama, maka hancurlah institusi kenegaraan yang menjadi pengikat semuanya.

Saya tidak akan pernah setuju kepada tindakan anarkis, apapun alasannya selama kita masih terikat oleh sebuah institusi. Jika ikatan institusi (hukum) tidak diakui berarti dengan sendirinya kita memisahkan diri dari ‘territory’ kenegaraan yang ada. Untuk itu, kesalahan apapun yang ada, harus dilakukan melalui jalur institusi hukum yang ada. Main hakim sendiri, walau atas nama kebenaran bisa dijuluki oleh pihak-pihak lain sebagai tindakan ‘premanisme’.

Inti permasalahan

Sebenarnya melihat kepada latar belakang peristiwa tersebut, nampak bahwa ada tiga unsur (pihak) yang terkait, yaitu pemerintah, kelompok-kelompok liberal (pembela Ahmadiyah), dan juga FPI. Menurut pengamatan saya pribadi, ketiga-tiganya secara langsung atau tidak bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.

Pemerintah ikut bertanggung jawab karena isu Ahmadiyah yang telah cukup lama menjadi isu panas, juga tidak kunjung diselesaikan. Padahal, sejak dua bulan terakhir sudah ada rekomendasi dari tim gabungan antara Departemen Agama, Kementrian Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah kelompok yang menyeleweng dan oleh karenanya perlu mendapat ketentuan hukum.

Tentu saya tidak pada posisi untuk mengatakan bahwa pemerintah harus melarang Ahmadiyah. Itu adalah hak sepenuhnya pemerintah. Tapi mengundur-undur sebuah sebuah keputusan yang menyangkut isu sensitive hanya akan menambah ‘sensititas’ masyarakat, dan pada akhirnya akan mudah dikobar-kobari untuk terjadinya sebuah kekerasan semacam peristiwa Monas itu.

Akhirnya memang diperlukan sebuah ketegasan. Ketagasan yang boleh jadi tidak popular, tapi demi maslahat yang lebih besar perlu diambil. Jika tidak, gesekan-gesekan sosial (antar kelompok) yang setuju dan yang tidak setuju akan rentang untuk bertabrakan. Bahkan barangkali tabrakan ini tidak akan selalu disulut oleh isu Ahmadiyah itu sendiri, tapi juga oleh isu-isu lain, termasuk masalah-masalah lain. Masalahnya karena memang sudah terjadi sensitifitas yang tinggi di kedua belah pihak.

AKKBB versus FPI

Tanggung jawab langsung ada pada kedua pihak, AKKBB dan FPI. Dari penglihatan saya selama ini, kedua kelompok tersebut memang berada pada garis ujung ekremisme, non kompromistik dalam hal-hal yang mereka pandang. Anehnya, masing-masing pihak mengakui kebenaran mutlak, dan yang lainnya salah.

Selama ini banyak pihak yang secara sebelah menilai jika yang ekstrim itu hanya FPI dan yang sehaluan. Sebaliknya, mereka dengan enteng menilai bahwa AKKBB dan sekutunya justeru pembela moderisme dan kebebasan. Penilaian seperti ini sama sekali tidak ‘fair’ dan cenderung semakin memperuncing permasalahan, bahkan dapat dinilai sebagai unsur kengajaan untuk semakin menjadikan FPI dan yang sehaluan semakin marah.

Padahal, kelompok-kelompok liberal dengan berbagai penamaan itu juga berada pada ujung ektremisme yang nyata. Mereka sangat tidak kompromistik dalam melihat penafsiran-penafsir an yang berseberangan. Barangkali kejadian Monas adalah klimaks dari sikap mereka selama ini yang selalu menuduh pihak seberang sebagai sesat, kafir, licik, picik, berpikiran sempit dan semacamnya.

Bagi saya pribadi, sikap seperti ini adalah bentuk ekstrimisme dan intoleransi yang jelas. Dan oleh karenanya, ketika sikap intoleran berhadapan dengan sikap yang sama pada sisi berseberangan, di sanalah rentang terjadi tabrakan. Masing-masing mengakui kebenaran, dan kaku dalam melihat fenomena perbedaan pemikiran. Bahkan keduanya cenderung bersikap eogistik dan arogan.

Sangat menyedihkan, bahwa kelompok-kelompok liberal ini hampir saja tidak kedengaran suaranya di saat umat Islam terinjak-injak. Sebaliknya mereka bersuara lantang di saat-saat kelompok lain, dan bahkan nyata-nyata musuh Islam, sedang menghadapi kesulitan. Saya tidak tahu, apakah ini sikap yang memudahkan untuk mendapatkan pujian dari pihak-pihak yang lebih kuat dan besar? Allahu lebih tahu!

Solusi

Setelah persitiwa Monas terdengar nyaring di mana-mana seruan untuk membubarkan FPI. Di satu sisi, saya seringkali sedih dan tidak setuju dengan ‘cara’cara’ FPI dalam melakukan langkah-langkah ‘amar ma’ruf-nahi mungkar ’nya.

Di saat saya menyaksikan di berbagai media massa rekan-rekan dengan jubah dan sorban, tapi kemudian mengayung-ayungkan pedang dan tombak, dengan amarah, menampakkan kebengisan, tentu bagi saya bertentangan dengan hal-hal yang selama ini kita da’wahkan. Bahwa Islam itu ramah, berpendidikan, toleran, dan jika terpaksa melakukan tindakan ‘nahi mungkar’ dilakukan dengan cara-cara yang ‘ahsan’ (dialog, debat, dan jika perlu melalui proses hukum dan politik). Tapi dengan tindakan sendiri-sendiri dengan mengindahkan hukum yang ada, hanya memberikan persepsi yang buruk.

Namaun demikian, saya berani mengatakan bahwa adalah tidak ‘fair’ jika tuntutan pembubaran hanya ditekankan kepada kelompok FPI. Seharusnya kelompok-kelompok radikal yang berseberangan juga perlu dibubarkan, karena sesungguhnya eksistensi mereka ditentukan oleh eksistensi sebaliknya (radikal yang berseberangan) . Oleh karenanya, jika FPI dibubarkan, maka seluruh kelompok-kelompok liberal radikal harus pula dibubarkan.

Selama ada kelompok radikal di sebuah sisi, akan menjadikan tumbuhnya radikalisme di sisi lain. Ketika ada yang dengan enteng meremehkan dasar-dasar ajaran agama, tidak peduli dengan fondasi kebenaran, akan ada kelompok-kelompok lain pula yang terpanggil untuk membela. Sebaliknya, selama ada sikap-sikap non kompromistik dalam masyarakat, akan tumbuh pula kelompok-kelompok yang menamakan diri berjuang melawan sikap intoleran itu.

Pada akhirnya, semua kembali kepada ‘wisdom’ pemerintah. Jika permasalahan- permasalahan dalam masyarakat dibiarkan mengambang, berbagai penyelewengan ditanggapi dengan ‘wait and see’, maka boleh jadi kelompok-kelompok ekstrim itu, baik yang di sebelah kanan maupun kiri, akan mengambil alih penyelesaiannya.

Jadi, dengan peristiwa Monas ini, siapakah yang perlu disalahkan?

New York , 3 Juni 2008

Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com